Jumat, 31 Desember 2010

guruh gipsy

[1977] Guruh Gipsy

Oleh:
Manan Rasudi

Artis
Guruh Gipsy

Album
Guruh Gipsy

Tahun
1977


Konon Sungsang Lebam Telak (SLT), sekelompok musisi Free Jazz nyeleneh lokal, pernah mencibir kebiasaan kita mendewakan musisi luar daripada musisi lokal. Jika kabar ini benar, maka semestinya kita hanya bisa mengangguk setuju. Bukankah kita lebih dulu mempromosikan Led Zeppelin atau Deep Purple pada rekan kita yang hendak “belajar” mendengarkan Hard Rock klasik? Lalu, adakah teman kita yang menganjurkan mendengarkan Opera Ken Arok lebih dulu sebelum The Wall?

Di luar itu, cobalah minta referensi album Progressive Rock 70an yang layak didengarkan, lalu pastikan berapa kepala menuntun anda untuk mendengarkan
Guruh Gipsy dibanding mereka yang mengusulkan King Crimson, Gentle Giant, Genesis, Yes, ELP, UK, ELP, Focus, Harmonium, dll untuk dinikmati. Saya yakin hasilnya hampir nihil! Sejatinya, Guruh Gipsy, menurut penulis, cukup menjadi titik start yang pas bagi siapapun yang hendak menenggelamkan diri dalam megahnya Rock 70an. Guruh Gipsy—yang digawangi Keenan Nasution, Chrisye, Ronny Harahap, Abadi Soesman, Oding Nasution, dan Guruh Soekarno Putera, sang mastermind—memang membenturkan format Symphonic Progressive Rock yang tengah jaya pada masa itu dengan bebunyian etnis Bali.


Perbenturan tersebut sudah terdengar jelas dari lagu pertama album ini, Indonesia Mahardhika (Indonesia Merdeka). Lagu ini dibuka dengan intro penuh sinkopasi drum dan pesta moog ala Progressive Rock, lalu berkembang menjadi sebuah lagu dengan hiasan notasi etnis Bali (dan Jawa jika saya tak salah dengar) dengan sempurna.

Sebaliknya, Chopin Larung, track berikutnnya, dengan santai mencampur intro bernuansa Bali dengan sebuah karya Chopin di tengah lagu. Selanjutnya, pembenturan kedua format musik tersebut terus tertata di track berikutnya. Ada kalanya, aroma Progressive Rock terdengar kentara seperti dalam Janger 1987 Saka, Barong Gundah, Geger Gelgel. Sedangkan Sekar Ginotan dan lagu cinta Smaradhana mewakili supremasi musik tradisional Bali atas template musik Progressive Rock.

Jika secara musikal Guruh Gipsy meminjam idiom Progressive Rock, maka di ranah lirik nuansa “Indonesia” terasa kuat. Album ini dibuka dengan pernyataan cinta tanah air dalam Indonesia Mahardhika, melalui suara Keenan Nasution, Guruh Gipsy meniupkan Lirik Lugas Rukun damai mulia/Indonesia tercinta/Salam sejahtera/Gunung langit samudera/Ruh semesta memuja. Kemudian, lewat Chopin Larung dan Janger 1987 Saka, Guruh, dkk memperlihatkan jengahnya mereka akan invasi budaya luar yang sudah memasuki tahap destruktif.

Alih-alih dipuja, Chopin beserta karyanya justru dijadikan idiom yang mewakili kuatnya arus budaya barat kala itu. Simak saja kritik lirih yang ditembangkan oleh Chrisye dalam lagu tersebut Sang jukung kelapu-lapu/Santukan Barana Kroda/ Nanging Chopin nenten ngugu/Kadangipun ngarusak seni budaya (sang perahu terombang-ambing/akibat amarah sang dewa laut/namun, Chopin tak menyadari/Bangsanya merusak seni budaya). Uniknya, di tengah semaraknya lirik berbau nasionalisme dan gelegak kritik atas intervensi budaya tersebut, masih ada Smaradhana yang merupakan lagu cinta murni dengan lirik Sansekerta, andika dewa/sirna duli sang smara/merasuk sukma/menyita heningnya cipta/ begitu lirik lagu tersebut dilantunkan.

Dengan lirik seperti itu, pada masanya album ini seperti pelanduk melawan gajah. Ditengah tren lagu cinta yang penuh kata “mengapa”, --setidaknya menurut Remy Silado—Guruh Gipsy menantang dengan tatanan syair di atas, keadaan yang saat ini mungkin dihadapi oleh—tanpa bermaksud mendewakan mereka—Efek Rumah Kaca.

Ironis memang, sementara album ini menyerang invasi budaya luar, album ini justru meminjam fondasi Progressive Rock yang juga budaya luar. Namun, menilik semangat zaman (Zeitgeist), cara yang ditempuh Guruh Gipsy bisa dikatakan cerdas. Dengan ramuan tersebut, audiens yang dijaring justru meluas. Konon, album ini sukses menjadi buah bibir komunitas Progressive Rock internasional. Jadi, pemanfaatan pakem Progressive Rock dalam album ini bukanlah pernyataan menyerah budaya lokal. Sebaliknya, ini adalah usaha mendompleng kejayaan Progressive Rock yang tengah berjaya guna menyampaikan semua pesan dalam album ini.

Dengan komposisi tersebut, album ini kandas secara komersial. Namun, di sisi lain album yang dicetak terbatas (5000 keping oleh PT Pramaqua) ini kerap kali dipandang sebagai salah satu pencapaian artistik terbaik dalam sejarah musik lokal. Meskipun bukan yang pertama dan satu-satunya yang mencampur idiom musik lokal dengan musik populer barat (Shark Move sudah lebih dulu serta Harry Roesli juga mengeluarkan album Tiga Bendera yang kental nuansa Karawitan Sunda di tahun yang sama), setidaknya album ini menjadi salah satu titik penting dalam tren perkawinan dua jenis musik tersebut.

Belum lagi, legasi album ini masih bisa dirasakan dalam karya musisi sesudahnya, seperti Krakatau, Discus, dan Simak Dialog. Di samping itu, album ini juga menjadi titik awal tren lirik bernuansa Sansekerta seperti yang bisa kita simak dalam album Sabda Alam milik Chrisye yang memuat, salah satunya, Smaradhana dalam versi yang lebih pop. Bisa jadi, warisan gaya lirik ini juga menjangkau generasi dua dekade berikutnya. Bukankah lirik Katon Bagaskara dalam lagu Saujana memiliki senyawa yang dimiliki Smaradhana?

Sayangnya, mendapatkan album ini tidak mudah. Jadi wajar kalau sebagian teman anda tetap bebal merefensikan King Crimson dkk dibanding Guruh Gipsy. Tapi, jika anda berhasil mendapatkan album ini—baik kaset, plat atau file digitalnya—cobalah nikmati barang sejenak lalu mungkin, suatu saat nanti, kita bisa meminjam manifesto Sungsang Lebam Telak untuk kita teriakkan lantang ke audien musik barat di luar sana “Musik kalian jelek, Musik kami bagus!”


Guruh Gipsy, Revolusi Musik Pop Indonesia

Album Guruh Gipsy "Kesepakatan Dalam Kepekatan"
Album Guruh Gipsy "Kesepakatan Dalam Kepekatan"


Sepulang dari lawatan musik di New York Amerika Serikat,Keenan Nasution dan Gauri Nasution mulai banyak berhubungan dengan Guruh Soekarno Putera.
Gauri Nasution dan Guruh Soekarno Putera sebetulnya merupakan dua sahabat lama.
Mereka berdua merupakan teman sekelas saat sama sama bersekolah di Yayasan Perguruan Cikini.
”Guruh memang memiliki visi berkesenian yang tinggi.Dia menguasai tari,musik dan juga teater barangkali” puji Gauri Nasution.Mereka,Guruh,Gauri dan Keenan Nasution ternyata tengah kasak kusuk melakukan rencana proyek musik eksperimen.

Guruh yang baru saja tiba dari Belanda gelisah ingin menampilkan sebuah proyek musik yang menampilkan musik tradisional Indonesia yang bersanding dengan musik Barat.
“Saya memang terobsesi ingin melakukan semacam percampuran budaya ini.Saya pernah mendengar Debussy memasukkan gamelan atau pun orang Kanada Collin Mc Phee yang juga bereksperimen dengan gamelan” tutur Guruh Soekarno Putera.

Terkadang kita memang seolah terlambat berkreasi dibanding pemusik Barat.Collin McPhee di tahun 1937 telah menghasilkan karya “Tabuh-tabuhan” yang menggabungkan perangai musik tradisional Bali dengan musik Klasik Barat.

Guruh sendiri selama 2 tahun sempat belajar arkeologi pada Universiteit Van Amsterdaam Belanda. Tapi entah kenapa justeru semangatnya berkesenian semakin membuncah dan kian menggelegak.Bahkan dipicu pula dengan semangat nasionalisme yang tinggi.Di mata Guruh,mungkin dia hanya melihat warna merah dan putih.Dwiwarna inilah yang menyelubungi jiwa seninya.

Di Belanda,Guruh SoekarnoPutera pernah bersua dengan Pandji,Direktur Konservatorium Bali yang kebetulan tengah menimba ilmu pula.Atas gagasan Pandji,Guruh pun menampilkan kemampuannya menabuh gamelan dan menari.Selanjutnya kelangsungan komunitas penabuh gamelan Bali yang dibentuk Pandji diserahkan pada Guruh Soekarno Putera.

Guruh memang telah terbiasa dengan kebudayaan Bali.Ketika masih bersekolah di Perguruan Cikini,Guruh pun telah mempelajari kesenian Bali secaratekun dan seksama pada I Made Gerindem di Ubud Bali.

Bagi Gauri Nasution dan Keenan Nasution seni musik Bali bukanlah sesuatu yang asing lagi.
Pada tahun 1966-1968 bersama Sabda Nada mereka sudah terbiasa bereksperimen menggabungkan musik Barat dengan gamelan Bali yang di arahkan oleh I Wayan Suparta.
Hal serupa pun mereka lakukan ketika Gipsy tampil di Restauran Ramayana New York pada tahun 1973.

Lalu di tahun 1974 setelah mundur dari formasi God Bless,Keenan Nasution (drums,vokal) mengajak Oding Nasution (gitar),Debby Nasution (bass),Abadi Soesman (synthesizers) dan Roni Harahap (piano,keyboards) untuk membentuk kembali formasi Gipsy yang sudah tidak aktif manggung dengan bereksperimen memadukan musik rock dan gamelan Bali yang dimainkan oleh kelompok yang dipimpin Syaukat Suryasubrata.

“Saya masih ingat saat itu kita bereksperimen membawakan “Topograpic Oceans” nya kelompok Yes tapi pada beberapa segmen justeru dimainkan dengan membaurkan musik gamelan Bali” cerita Abadi Soesman.

Pertemuan antara Keenan Nasution dan Guruh Soekarno Putera akhirnya membuahkan kesepakatan untuk membuat sebuah eksperimen musik Bali Rock.Keenan dan Guruh pun akhirnya memulai proyek ini dengan menghubungi Pontjo Sutowo sebagai penyandang dana.Pontjo bersedia membantu proyek ini.”Untuk musik saya memang selalu bersedia membantu,meskipun proyek musik idealis semacam ini membutuhkan biaya banyak dan siap merugi” ungkap Pontjo Sutowo.

Memasuki bulan Juli 1975 rekaman yang kemudian diberi nama Guruh Gipsy mulai dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa,sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Penggarapan album ini cukup panjang dan berakhir pada November 1976. Menurut Guruh penggarapan album ini sesungguhnya hanya menggunakan jadwal studio sebanyak 52 hari. Ada pun kurun waktu sekitar 16 bulan itu termasuk dihabiskan untuk mengumpulkan biaya dari para donatur (selain dari Pontjo),latihan dan menulis materi lagu hingga menunggu jadwal studio kosong ketika Tri Angkasa digunakan oleh pihak lain .

Proyek ini betul-betul menguras energi dan stamina.Gipsy yang terdiri dari Keenan,Roni,Abadi,Chrisye dan Oding tidak tampil sendirian.Sederet pemusik lainnya mendukung performa mereka di bilik rekam.Ada Trisutji Kamal,pianis yang juga ikut membuat arransemen.Kelompok Saraswati Bali yang dipimpin I Gusti Kompyang Raka,juga paduan suara Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk serta sederet chamber music yang terdiri atas Fauzan,Suryati Supilin,Seno pada biola.Sudarmadi pada cello,Amir Katamsi pada kontra bas,Suparlan pada flute serta Yudianto pada oboe dan clarinet.

Rekaman Guruh Gipsy fase pertama berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dan berhasil menyelesaikan sebanyak 4 komposisi yaitu Geger Gelgel,Barong Gundah,Chopin Larung dan sebuah komposisi yang belum diberi judul tapi kemudian tidak jadi dimasukkan dalam album.

Lalu rekaman Guruh Gipsy fase 2 berlangsung dari Mei hingga Juni 1976 yang menghasilkan 3 lagu masing masing Djanger 1897 Saka,Indonesia Maharddhika dan Smaradhana.Pada fase ini ada 3 komposisi yang direkam lagi dan disempurnakan yaitu Barong Gundah,Chopin Larung dan Geger Gelgel.

Menurut peƱata rekamannya Alex Kumara dalam proses perekaman “Indonesia Maharddhika” dan “Geger Gelgel” termasuk sulit penggarapannya secara teknis,karena begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam serta jumlah pemainnya yang mencapai 25 orang hingga studio berukuran 50 meter persegi terasa begitu sesak dan pengap.

Namun,kendala ini tak membuat satu pendukung pun yang menyerah.Mereka bagaikan pejuang yang tengah berjuang di medan laga.
 enempatan microphone pun harus tepat di tengah sesaknya studio Tri Angkasa. Lagu “Indonesia Maharddhika”misalnya membutuhkan proses dubbing berupa pengisian suara gitar elektrik ,keyboard,piano elektrik dan synthesizers sebanyak 200 kali.Sesuatu yang pasti tak akan ditemui pada proses perekaman di zaman sekarang yang telah didukung teknologi mutakhir.

“Beruntunglah pemusik sekarang yang tertolong oleh kemudahan teknologi.Dulu saat harus mengadopsi banyak bunyi-bunyian keyboard dalam berbagai layer harus melakukan overdub ratusan kali”jelas Abadi Soesman. Keenan Nasution dan Chrisye menjadi vokalis utama dalam Guruh Gipsy.Keenan membawakan Indonesia Maharddhika dan Geger Gelgel.Chrisye menyanyikan Chopin Larung dan Smaradhana.Sementara pada lagu “Djanger1897 Saka dinyanyikan secara bergantian oleh Keenan dan Chrisye.

Album Guruh Gipsy ini lalu dilepas ke masyarakat dan dijual seharga Rp 1.750 yang disertai semacam scrap book yang dimaksudkan untuk bertutur perihal ikhwal asal-usul lagu dan proses kreatif yang menyertai penggarapan Guruh Gipsy. Sampul album Guruh Gipsy berlatar warna coklat tua dengan tagline : kesepakatan dalam kepekatan.Maksudnya album ini merupakan sebuah karya yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di dalam masa yang penuh kepekatan.Lirik lagu seperti “Geger Gelgel sebetulnya adalah bentuk keprihatinan Guruh sebagai penafsir lirik terhadap keadaan negeri tercinta ini.Simaklah liriknya ini :

Dulu di Gelgel pernah geger
namun tak segeger hatiku
Hasrat hati ingin membeber
segala peri-laku palsu
Degup jantung irama Batel
bagai derap pasukan Gelgel
Menentang penjajah angkara
penindas hak dasar manusia
Wahai kawan nyalangkan matamu
Simaklah dalam babad moyangmu
Di Gelgel pernah geger
semangat suci luber
Kepasuan tersebar
Orang batil tercecer-cecer
Geger Gelgel – Gelgel geger, di Gelgel geger
Hatta nasib rakyat jelata
yang bukan ahli berbicara
Tapi hatinya bersuara
menuntut hak alam merdeka
Kaum sudra dipermainkan
oleh muliawan gadungan
Hati tercekam suasana
ngeri waswas meraja-lela
Wahai kawan jangan engkau lengah
Ketidakadilan harus musnah
Singkirkan cadar ragu
singsingkan fajar baru
Mari kita bersatu
du dalam setiap nafasmu
Menyingkap dan menelanjangi adegan palsu
membahas sangkakala
menyibak mega raya
Menyongsong bahagia
moga sirna duka derita
janji Sang Hyang Maheswara niscaya ‘kan nyata.

Demikian juga lagu “Chopin Larung” dan “Djanger 1897 Saka” yang menyitir tentang kontaminasi budaya yang terjadi di kantung kantung budaya Indonesia seperti di Bali.Simaklah lirik “Djanger 1897 Saka” dibawah ini :

Dulu memahat buat menghias pura (-puri)
dulu menari dengan sepenuh hati
Sekarang memahat untuk pelancong mancanegari
Sekarang menari turut cita turis luar negeri
Tari Legong jaman masyhurnya di Saba (-Kedaton)
dipersingkat demi selera penonton
Wingit barong dan tari keris sering sekedar tontonan turis
kekhusukan upacara melins sering terganggu jepret lampu blitz.
Onde-onde dari Cisalak, berkonde Jawa rambut disasak
Ondenya masakan Semarang, konde sasakan mode sekarang
Art shop megah berleret memagar sawah ( Cak he he )
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya – cipta nan elok – indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri
Boleh saja bersikap selalu ramah (-tamah)
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tak hati-hati bisa punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi
(harga diri tak ada lagi maka tak dapat berbangga hati)

Selain itu ,pada sampul Guruh Gipsy tertera kaligrafi Dasabayu, yang terdiri atas 10 aksara Bali dengan arti tertentu yaitu I-A (kejadian, keadaan), A-Ka-Sa (kesendirian,, kekosongan), Ma-Ra (baru), La-Wa (kebenaran), dan Ya-Ung (sejati).Menurut Guruh Soekarno Putera,himpunan kesepuluh aksara itu pada zaman dahulun kala di Bali memberikan semacam mukjizat bagi yang mempercayainya. Secara keseluruhan aksara-aksara itu bermakna bahwa dengan keadaan yang kosong barulah akan timbul kebenaran yang sejati.
Menariknya lagi,Guruh yang terpengaruh Ronggowarsito mengabadikan nama-nama personil Guruh Gipsy dalam barisan lirik lagu “Indonesia Maharddhika” :

Om awignam mastu
DING Aryan ring sasi karo
ROhini kanta padem
NIshite redite pratama
KIlat sapte tusteng padem
NANte wira megawi plambang
Aku dengar deru jiwa
BA dai badai mahaghora
DI Nusantara Raya
Cerah gilang gemilang
Harapan masa datang
Rukun damaimulia
Indonesia tercinta
Selamatsejahtera
GUnung langit samudera
RUH semestamemuja
Rukun damai mulia
Indonesia tercinta

Menjelang akhir tahun 1976 album Guruh Gipsy dirilis ke pasaran.Tapi tak semua orang mengenal dan menyimak karya kolosal ini.Namun siapa sangka,3 dasawarsa berselang ,album Guruh Gipsy menjadi album yang paling dicari-cari orang,
Bukan hanya di Indonesia,melainkan juga di berbagai belahan dunia termasuk Amerika,Inggeris hingga Jepang..Bahkan beberapa radio di Kanada,Swiss dan Belanda memutar Guruh Gipsysekaligus mengulasnya dalam apresiasi musik yang mendalam.Pada akhirnya Guruh Gipsy menjadi salah satu milestone perjalanan musik Indonesia.Tak berlebihan jika album ini diibaratkan album “Sgt Pepper’s Lonely Heart’s Club Band” nya The Beatles.

Tulisan diatas merupakan sedikit bagian dari buku “Jejak Jejak Musik Indonesia di Pegangsaan” yang ditulis oleh Denny Sakrie. Mengapa saya mengambil bagian Guruh Gipsy dan mengapa bukan yang lain ? Buat saya Guruh Gipsy adalah maestro musik Indonesia tidak ada yg pernah melakukan apa yg dilakukan Guruh Gipsy dalam hal musikalitas, sampai detik ini belum pernah saya dengar musisi Indonesia ataupun Internasional yang bermain seperti Guruh Gipsy, kecemerlangan Guruh Soekarno Putra dalam meng-compose dan mencampur adukkan pentatonik dan diatonik diakui sebagai kekuatan Guruh Gipsy, ya walaupun mereka hanya menelurkan satu album (yang sangat hebat) dan tidak mencetak platinum records ataupun penghargaan lainnya, tapi mereka berhak dijadikan legenda dan penggerak revolusi musik Indonesia.

 Album Kesepakaan Dalam Kepenatan sekarang mulai dikejar para kolektor, untungnya saya punya (koleksi Bapak) dan lebih untungnya kaset tersebut masih bagus dan bisa didengarkan, bagi saya yang bukan musisi mereka adalah nomer satu, coba dengarkan lagu lagu dari album ini terutama lagu Indonesia Mahardhika, sangat bagus !
ReviewReviewReviewReview
May 9, '08 10:38 PM
for everyone
Category:
Music
Genre:
Pop
Artist:
Guruh & Friend
INDONESIA MAHARDHIKA

Om Awighnam Astu
DINGaryan Ring Sasi Karo

ROhinikanta Padem
NIgitha Redite Prathama

KIlat Sapta Tusteng Natha
NANta Mami Magawe Plambang

Aku Dengar Deru Jiwa
BAgai Badai Mahaghora
DI Nusantara Jaya

Cerah Gilang Gemilang
Harapan Masa Datang
Rukun Damai Mulia
Indonesia Tercinta
Selamat Sejahtera

GUnung Langit Samudera
RUH Semesta Memuja

LIRIK diatas ialah lirik dari lagu Indonesia Mahardhika dari album monumental GURUH GIPSY Kesepakatan dalam Kepekatan. Hebatnya, lirik ini ditulis berdasarkan inisial nama dari keenam personilnya yaitu Oding Nasution, Keenan Nasution, Chrismansyah Rahadi atau Chrisye, Roni Harahap, Guruh Soekarno Putra dan Abadi Soesman. Kata-kata yang ditulis tebal adalah inisial dari keenamnya.

Guruh : Gipsy
Guruh Sukarno Putra


Format: Kaset
Rilis: 1976
Musisi:
• Keenan Nasution | drums, vocal
• Chrisye | bass, vocal
• Abadi Soesman | mini-moog
• Roni Harahap | all piano, organ
• Odink Nasution | guitars
• Guruh Soekarno |all gamelan, all lyrics

Lainnya:
• Trisuci Kamal | piano
• Gauri Nasution | guitar
• Hutauruk Sisters | Female back up singers
• I Gusti Kompyang Raka | Gamelan, Balinese Singers
• Orkestra RRI | orchestra section

Track Listings:

• 01 Indonesia Mahardhika
• 02 Chopin Larung
• 03 Barong Gundah
• 04 Janger 1897 Saka
• 05 Geger Gelgel
• 06 Smaradhana

* Diambil dari berbagai sumber.

2 komentar:

  1. >>
    asyix banget baca resensi mu tentang GSP yg begitu komplit ini..
    karena aku penyuka GSP..bagiku dia sangat unik..nyeni..smart dalam bermusikal..
    dan memang benar..agak susah untuk mendapatkan koleksi karya2 GSP..
    tapi apa sudah coba langsung kekediaman GSP..??
    konon disana ada management nya..dan kita bisa mendapatkan karya2 GSP..

    BalasHapus
  2. tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0

    BalasHapus