Selasa, 25 Februari 2014

Akhir Cinta Diam-diam

Pukul lima pagi.

Lelaki itu memang selalu datang sepagi ini. Setelah meletakkan tas ransel, ia berjalan di lorong bangsal sambil menggenggam stetoskop hitam. Di depan pasien, ia tak pernah kehilangan senyumnya yang cerah, membuat matahari merasa tersinggung karena sinarnya terkalahkan.

Satu jam berlalu. Akhirnya lelaki itu selesai memeriksa semua pasien dan berjalan ke arahku. Ke meja di depanku, tepatnya. Ia menggeser tumpukan status pasien ke hadapannya dan mulai menulis instruksi baru di dalamnya.

Sabtu, 22 Februari 2014

Lullaby "sajak rindu, tersebar di halaman waktu"


Masihkah kau menikmati senja? tak sadarkah kau itu indah? hingga terjebak dalam bayangmu sendiri. Nona, sudah saatnya ak mengmbil cahaya.

Senja telah mengutukku dengan lantang. Jingganya tak hilang, meski kusapukan di pipiku setiap petang. Siap jatuh cinta, tuan?

Senja takkan marah keindahannya di usik kehadiran purnama. Seperti rusukku yang semakin indah dengan hadirnya engkau, Nona. 

Jika begitu di dadamu aku tinggal. Siap kuhujam rindu tanpa sela? Mereka akan selalu berjejal minta segera kau sapa.

Tak perlu engkau berpayah menghujamkan rindu. Semesta takkan diam membiarkan waktu membungkus ragu.

Sabtu, 15 Februari 2014

Rindu Secangkir Senyum

Tampak Nina duduk termangu di bangku ujung taman. Menyaksikan segerombolan anak berlari-larian dengan sangat riang. Sesaat kemudian seorang lelaki datang menghampiri. Dipegangnya Cup coklat dingin di kedua tangannya.

"Kelamaan nunggunya?" Sapa lelaki itu sembari memberikan satu Cup coklat di tangan kanannya.

"Ooh, Enggak kok." Jawab Nina singkat sambil menerima coklat.

Nina terpana menyaksikan senyum lelaki di depannya.

Senin, 10 Februari 2014

Merindu Pagi #2


Kehilangan Nyala Api


Aku mendapati pagiku dengan gembira. Betapa tidak, perempuan cantik dalam imaginasiku sudah tak lagi hadir dalam mimpi. Bahkan sesederhana senyumnya sekalipun tak lagi bisa kuingat.
Nessa, iya. Nessa telah merubah semuanya. Dengan santun dia mengusir semua perempuan cantik dalam mimpiku. Memberi aku kesempatan untuk menikmati perempuan cantik yang sebenarnya.

Hari ini aku berniat menemuinya, sekedar duduk minum dan ngobrol. Tidak seperti pertemuan pertama yang entah mengapa, ada semacam nyala api yang menjulang diatas tumpuan lilin lidi dan sumbu kecilnya.

Kamis, 06 Februari 2014

Puan (tertinggal jingga)


Puan, begitu aku memanggil senyum itu
memanggul beban perjalanan di hirukpikuk kota
sibuk memanen kata menjadi doa

Puan, begitu aku memanggil gigil jam
pelan bergerak menuju barak persinggahan
hinga tiktaknya terasa bergetar
dan berpendar menjadi kesadaran

Puan, dalam gigil kudengar suara memanggilmu
bukan tersebab issue aku mengusap keringat dengan tissue
bukan lantaran purnama tersangkut di ranting cemara
hingga angin bersijingkat dalam senyap, menyergap

Puan, senja sudah pulang kandang
cakranya pun tak lagi melintang
tak ada repih jingganya yang sempat ku bawa pulang

Puan, dengarkah jingga memanggil senja
berbaring manja di tepian purnama
dan memanggul selaksa doa.


Mohon maaf jika ada kesamaan tokoh dalam gambar. :D

Menggores Tergores (dering telpon)


"Mas, bangun mas! Ada telpon dari kantor." Suara istriku membangunkanku.

"Iya, Trus kamu bilang apa?" tanyaku sembari berusaha membuka mata.

"Gak bilang apa-apa, tapi nanti mas diminta telpon balik." lanjut istriku.

Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, membersihkan mukaku dan buang air kecil. Tak lama, aku telah berada diruang depan dengan manghadap map daftar nasabah dan telpon tentunya.

Bakalan diomelin nih. Pekikku dalam hati.
Jadi pekerja freeland memang seperti ini, gak kerja gak dapat uang.
Dengan setengah hati, mulai kutelpon atasanku.

Senin, 03 Februari 2014

Jamuan Istimewa

“Kamu sudah memaafkanku, Bim?”

Aku terdiam di depan pintu rumahnya. Masih menyembunyikan kedua tangan di saku celana, dan memilih untuk tidak menyambut jabat tangannya. 

Aku mematung, memandangi wajahnya yang polos tanpa riasan. Cantik. Seperti biasa. Senyumnya menawan. Seperti biasa. Melihatnya hidup dan berbahagia seakan tidak ada apa-apa seperti itu membuat hatiku perih bagai tersayat. Seperti biasa.

“Boleh masuk?” tanyaku. Dan aku menerobos masuk ke rumahnya, tanpa menunggu Aira menjawab pertanyaanku.

“Sepi. Pada ke mana?” tanyaku.

“Keluar kota. Jadi, kamu sudah memaafkanku?” tanyanya lagi.

Kubiarkan punggungku saja yang meladeni pertanyaannya.