Senin, 10 Februari 2014

Merindu Pagi #2


Kehilangan Nyala Api


Aku mendapati pagiku dengan gembira. Betapa tidak, perempuan cantik dalam imaginasiku sudah tak lagi hadir dalam mimpi. Bahkan sesederhana senyumnya sekalipun tak lagi bisa kuingat.
Nessa, iya. Nessa telah merubah semuanya. Dengan santun dia mengusir semua perempuan cantik dalam mimpiku. Memberi aku kesempatan untuk menikmati perempuan cantik yang sebenarnya.

Hari ini aku berniat menemuinya, sekedar duduk minum dan ngobrol. Tidak seperti pertemuan pertama yang entah mengapa, ada semacam nyala api yang menjulang diatas tumpuan lilin lidi dan sumbu kecilnya.

***

Aku telah duduk di meja sudut cafe kecil yang berada di salah satu Mall tempat kita janjian. Sesekali aku melirik jam di tangan kiriku, terdapat beberapa orang pengunjung cafe, mereka asik bersendau-gurau dengan temannya. Tiba-tiba pandanganku tertahan, seorang perempuan berjalan kearahku.

"Kelamaan nunggunya Rakka?" Tegurannya memecahkan lamunanku.

"Oh, Enggak" Aku tidak bisa menjawab selain itu. Seraya berdiri, dan menarik kursi di depanku untuk mempersilakan dia duduk.

"Pagi ini cerah sekali ya?" Ucapnya sambil menaruh tas jinjing yang sama ketika kami bertemu pertama di bus.

Aku hanya mengangguk. Terlalu terpana hingga mulutku bahkan lupa tersenyum. Apa sih susahnya mengucapkan ‘terima kasih’ untuk orang yang telah membarikan kursi untukmu? Tentu susah ketika engkau menduga bahwa debar ini merusak saraf rasionalku.

Asal kalian tahu. Laki-laki di dunia ini sama saja. Kegagahan mereka hanya menjadi label, seperti api yang kehilangan nyala jika di sandingkan diantara percikan air. Kata-kata mereka terpenjara sampai trakea di depan perempuan yang disukainya. Jutaan aksara sudah mengapung di dalam kepala. Seperti halnya aku hanya mampu terdiam di depan perempuan manis yang belum lama kukenal.

"Mau pesan apa?” kataku untuk menghilangkan keheningan dan ketegangan yang sebenarnya berasal dari diriku sendiri.

“Coklat hangat tanpa gula, aku sudah makan tadi dirumah.”  Lagi-lagi aku terpana menyaksikan gerak bibirnya yang ranum.

“Kamu tidak makan sekalian Rakka? Nanti kalo sakit, aku ikutan repot lho.” Candanya.

“Memangnya kamu peduli? Kemarin saja kamu cuek.” Balasku

Nessa hanya tersenyum sambil menggigit ujung cangkir coklat hangat yang dia pesan. Aku bahkan tidak sadar kapan pelayan mengantar pesanan kami.

“Eh, gimana kemaren kamu gak kenapa-napa kan? sampai rumah aman?” Tanyanya.

“Memangnya kamu peduli juga?” Jawabku acuh.

Hatiku membuncah mengetahui keberadaanku masih diingatnya. Kejadian yang instan dan memalukan. Iya, memalukan untuk kami bicarakan sekarang. Tentu saja, hal ini membuatku salah tingkah. Kuremas-remas jemariku sendiri, lalu kugaruk kepala bagian belakang yang sebenarnya sama sekali tidak gatal.

“Diminum dulu, nanti keburu dingin.” Ucapnya cuek. Sepertinya dia melihat aku gugup.

“Tu kan, aku peduli” Lanjutnya sambil kembali mengangkat cangkir yg ada didepannya.

Untuk kesikian kalinya, Hatiku dibikin berdentam tak karuan. Mungkin sekarang dahiku dipenuhi butiran-butiran keringat. Meskipun AC di café ini sudah dingin. Sebenarnya kami berada di lantai 3, namun jiwaku sudah melesat jauh sampai langit 7.

“Selain kuliah, ada kegiatan apa? Tanyaku.

“Aku magang di kantor pajak. Sekalian untuk tesisku.” Jawabnya sembari menaruh cangkir di meja.

“Kok kita gak pernah ketemu ya? Padahal aku sering ke kantor pajak.” Hatiku berdentam tak karuan. mengetahui keberadaanya. Masih ada banyak peluang untuk mendekatinya tanpa banyak mencari alasan.

Sesaat kemudian Ponselnya berbunyi. Diraihnya tas jinjing di di sudut meja untuk mengambil ponsel. Nampak dia membaca pesan yang ada. Tak lama setelahnya dia merapihkan diri.

“Aku tidak bisa lama-lama, Rakka. Kita bisa ketemu lain kali. Makasih ya traktirannya” ucapnya ramah seraya menjulurkan tangan untuk berpamitan.

Tiga detik selanjutnya, kugenggam tangan Nessa dengan lembut. Kurasakan kulitnya menyentuh kulitku. Mata kami beradu. Lalu senyumku hilang saat telapak tanganku menyentuh logam dingin di sela jari lembut itu.

 “Oh iya, Tunanganku ada di Dirjen Pajak juga, namanya Iqbal. Kalo kamu kesulitan, cari dia aja.” Ucap Nessa kemudian berlalu.

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar