Jumat, 25 April 2014

Manuskrip Hujan


I. Sore ini

Aku sedang belajar ikhlas,
membiarkan hujan menghujamkan rindu
sementara kau tak sedang bersamaku

Sayang,
ia tidak pernah datang sendiri
ia mengembun pada kaca jendela
membentuk bayang wajahmu
menyusun rindu-rindu sederhana

Maka ketahuilah, bahwa pada engkau yang bertamu dalam setiap hujan,
aku selalu merindukan–bukan bumi nan aroma atau pun pelangi sesudahnya

Senin, 21 April 2014

Aku, dan Perempuan Kecil (Prosa Rasa)



“Sudah bisa melupakannya, Lim?” tanya Hana.

Tubuhku menegang.

“Kamu itu ngomong apa, Han?” kataku sambil tersenyum.

Aku mengambil beberapa kentang goreng, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

Tapi ada gemuruh di dadaku. Mataku menolak untuk memandang wajahnya. Pandanganku liar menatap lalu-lalang manusia dengan beraneka ragam busana. Mereka nampak asik menikmati liburannya, dengan keluarga, teman, dan juga pasangan. Sesekali gemuruh obrolan dan canda mereka terdengar olehku. Namun saat ini hanya ada hanya suara mendenging keras memekak telinga.

Selasa, 15 April 2014

Apalagi yang belum engkau retak-karam-kan? (Kencan Kutukan)

Sampanku sudah tertambat sendirian pada maghrib terjelang. Ada bekas jejak kaki berlumpur di pinggiran danau tadi petang. Tak biasanya. Aku mencari, lalu seorang kamu muncul dari balik bayang-bayang pohon yang terlempar ke pelataran. Cinta, jatuh aku. Berawal dari “Hallo” sederhana, kita bercerita.  
Kubersihkan kakimu dan kita berjalan lama. Kamu ikatkan tali pada sampanku dengan eratnya. Kamu, ego, aku. 

"Kita tak bisa hanya berlayar dengan sampan.", katamu berdiri dan kembali ke daratan.

Jika kamu butuh kapal untuk kita berkidung dalam aman, aku upayakan. Namun jika bahtera megah hanya agar kamu tak malu mengarunginya, aku berserah.

Kamis, 10 April 2014

Perempuan Yang Memporak Porandakan Pagi

Mungkin, aku adalah salah satu manusia yang statis di dunia ini. Menjalani hidup dalam tempo serupa, tanpa berusaha mempercepat atau terlambat. Sedang-sedang saja.

Bangun pagi, mandi, sarapan, dan berkemas. Semua kulakukan dalam ritme yang sama. Tidak naik atau turun. Termasuk bekerja, bergaul, meluangkan waktu dengan teman dan keluarga. Semua kulakukan sesuai dengan porsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. 

Stabil.

Entah apa konspirasi semesta. Pagi ini aku tiba di kantor lima menit lebih awal dari biasanya. Aku duduk di lobi depan setelah absen fingeer di tempat yang sama. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang telah aku kenal. Dia di devisi administrasi di kantor ini. Parasnya membuat hidupku terasa tidak statis. Setiap gerak-geriknya membuat denyut jantungku melonjak tinggi, lalu jatuh ke bumi.

Selasa, 08 April 2014

Rindu Rintikan Hujan (Ayah)

Aku duduk di balkon depan pintu kamar. Tertawa geli meihat anak-anak kecil yang kakinya tak beralas. Berlari, berkejaran, saling melempar air. 

Tak hanya air, lumpur pun ikut mereka lempar. Hingga satu diantara mereka menangis, lalu saling menyalahkan.

Langit memerah. Adzan Maghrib berkumandang. Persatu mereka pun menghilang.

Aku mengalihkan pandang dari senja. Gelas berisi teh sudah kehilangan kepulan asapnya. Tapi ujung jariku masih bisa merasakan hangatnya. Hangat itu menyusup hingga jantungku. 

Jumat, 04 April 2014

Wahai Pemilik Semesta, Apa sih mauMu??


Kota ini dipeluk cuaca panas.
Disuatu sudut kota seorang penjual es cendol nanar menatap keramaian didepannya. Seorang perempuan separuh baya yang pastinya menambah penghasilan suami, atau memang dia berkerja sendiri? Entahlah.

"Bu.. beli es krim dong!" Anak kecil itu merajuk pada ibunya, meminta dibelikan es krim.

Sementara sang ibu tampak mengkerutkan keningnya dan membuka dompet lusuhnya. Mencoba mencari apakah ada uang yang tersisa disana.

Kamis, 03 April 2014

Perempuan Penelan Rasa



Melihatnya termenung menatap nanar membuatku bertanya-tanya.
"Apa yang dilakukan setiap hari di taman dengan kolam dan pohon berdaun lebat dan menjulang ke langit?"

"Wanita tercintaku malam itu berjalan dalam tidurnya. Berdiri di bawah pohon ini dan melesat menghilang. Aku disini menunggunya pulang karena dia pasti sedang tersesat. Aku menantinya dengan cahaya hangat di ujung jemari yang akan memungut rindu di jalan kembali menuju pulang."

aahh,
Ada kilauan bening di pipinya.