Jumat, 25 April 2014

Manuskrip Hujan


I. Sore ini

Aku sedang belajar ikhlas,
membiarkan hujan menghujamkan rindu
sementara kau tak sedang bersamaku

Sayang,
ia tidak pernah datang sendiri
ia mengembun pada kaca jendela
membentuk bayang wajahmu
menyusun rindu-rindu sederhana

Maka ketahuilah, bahwa pada engkau yang bertamu dalam setiap hujan,
aku selalu merindukan–bukan bumi nan aroma atau pun pelangi sesudahnya


II. Mendung

Kutantang ia sembari menunggu kedatanganmu
sebab pelukmu perapian, penghangat di kala hujan

Ia datang sendirian, sementara hujan datang keroyokan
aku, babak belur dihajar kenangan

Kepergianmu menyusun mendung di mataku,
melahirkan hujan di kemudian waktu

Sesungguhnya mendung hanya prelude
dari orkestra sunyi—perayaan kehilangan; hujan

Menengadah aku, memandang abu-abu
ingin kutarik kelambu yang menahan air mata kelabu
dan seketika aku ingin jadi bumi, bagi setiap air mata
serta tiap jatuhmu yang dipaksa gravitasi

Turunkan kesedihanmu yang rintik hujan,
yang senantiasa ditangkap pundakku yang bumi
atau dadaku yang samudera

III. Badai

Hingga kini Tuhan belum menjawab
bagaimana waktu mengkerut ketika mendung
dan melemparku menuju masa lalu ketika hujan
––tak tertahankan

Sebelumnya, kita pernah menari di bawah hujan
kini aku menangis bersamanya

Pulanglah. Rinduku menggigil kesepian
sementara engkau hanya mengirim hujan

IV. Aroma Pasca Hujan

Betapa aku mencintainya
betapa aku merindukannya

aroma yang menemani
mantra kekeringan tereksekusi

Sayang,
hujan telah usai, telah hadir pula pelangi
namun rindu untukmu tak jua pergi

* Ditulis Oleh Nugraha Aditya dalam blog Nugrahaditya pada 08 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar