Selasa, 15 April 2014

Apalagi yang belum engkau retak-karam-kan? (Kencan Kutukan)

Sampanku sudah tertambat sendirian pada maghrib terjelang. Ada bekas jejak kaki berlumpur di pinggiran danau tadi petang. Tak biasanya. Aku mencari, lalu seorang kamu muncul dari balik bayang-bayang pohon yang terlempar ke pelataran. Cinta, jatuh aku. Berawal dari “Hallo” sederhana, kita bercerita.  
Kubersihkan kakimu dan kita berjalan lama. Kamu ikatkan tali pada sampanku dengan eratnya. Kamu, ego, aku. 

"Kita tak bisa hanya berlayar dengan sampan.", katamu berdiri dan kembali ke daratan.

Jika kamu butuh kapal untuk kita berkidung dalam aman, aku upayakan. Namun jika bahtera megah hanya agar kamu tak malu mengarunginya, aku berserah.

Lalu, kamu berdiri diantara aku dan seseorang yang bersembunyi dibalik punggungmu. Kekasih yang terkamuflase tawa kita. Kamu gandeng dia dengan sisa-sisa lumpur yang terselip diantara jemari kakimu. Pulanglah, kamu ditunggu pernikahanmu minggu depan.

Entah senja ke berapa saat kamu berdiri didepanku lagi. Semalam aku menyapamu dengan nama berbeda. Kita membìncang kenangan hingga kau menagih janji yang kau ikat sendiri. 
“Apa kau tidak merindukanku?”, matamu sayu.
Lucu, kan?
Bukankah terakhir kali kamu yang mengutuk segala yang coba aku damaikan?

Sekedar kau tau, percuma pelarianmu ke segala mau. Karena semua jejakmu pun telah dihapus musim penghujan yang mengintai tak diam. Hingga kita dipersatukan satu senja lagi. 

Aku merenggangkan tali kekang yang kau ikatkan pada pohon ketapang. Berapa tahun ini tak terlepas. Kamu bertanya, perahu itukah yang tertinggal pada senja terakhir kita? Sungai diam, telaga membisu, danau tak menjawab, selaksa kemudian aku memecah bungkam...
"Bukan siapa-siapa. Tak apa-apa, biar gelombang dan arus air memandunya kemana saja.”
Kamu menahan ujung tali yang hampir meninggalkan dermaganya. Menatapku nanar seolah berharap agar tinggal. 

Apalagi? Apalagi yang belum engkau retakkaramkan? 
* Kolaborasi Syair "Kencan Kutukan" dengan Kobar Nendrodewo di
* Ditulis oleh Arina Kriswandani dalam blognya Mantra Rasa. Senin, 14 April 2014 05.33 pm



Tidak ada komentar:

Posting Komentar