Mungkin, aku adalah salah satu manusia yang statis di dunia ini.
Menjalani hidup dalam tempo serupa, tanpa berusaha mempercepat atau
terlambat. Sedang-sedang saja.
Bangun pagi, mandi, sarapan, dan berkemas. Semua kulakukan
dalam ritme yang sama. Tidak naik atau turun. Termasuk bekerja, bergaul, meluangkan waktu dengan teman dan keluarga. Semua kulakukan sesuai
dengan porsinya. Tidak kurang. Tidak lebih.
Stabil.
Entah apa konspirasi semesta. Pagi ini aku tiba di kantor lima menit
lebih awal dari biasanya. Aku duduk di lobi depan setelah absen fingeer di tempat yang sama. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang telah aku kenal. Dia di devisi administrasi di kantor ini. Parasnya membuat hidupku
terasa tidak statis. Setiap gerak-geriknya membuat denyut jantungku melonjak
tinggi, lalu jatuh ke bumi.
Dia melirik ke arahku. Lalu tersenyum.
Lihatlah, bagaimana dada ini porak poranda dibuatnya.
Perempuan itu berjalan mendekati. Lalu duduk di sebelahku.
Tidak!
Hal ini tidak boleh dibiarkan!
Hidupku sudah sempurna dalam
kestabilannya. Stabil yang sedang-sedang saja. Tapi senyum Perempuan yang mengenakan jilbab bermotif itu telah membuatku tidak puas dengan hidup yang
sedang-sedang saja.
Tanpa kata, kuserahkan sepucuk pulpen berwarna biru padanya. Perempuan cantik itu mengeluarkan sticky note warna hijau dan
berusaha menuliskan sesuatu di pojok kanan atasnya.
Tapi nihil. Tidak ada jejak tinta di sana.
Perempuan itu
mengayun-ayunkan pulpen biru itu. Naik turun. Seakan berusaha membuat
tintanya muncrat ke mana-mana. Lalu mencoba menulis lagi. Tapi tetap
tidak ada satu garispun yang tergurat di sana.
“Tinta pulpennya habis ya?” tanyanya lagi.
Dahinya berkerut. Matanya memandang lurus padaku.
“Hah? Eng … Nggak mungkin. Tadi masih bisa kok …” jawabku sedikit terbata.
“Nih buktinya nggak bisa.”
“Sini biar kucoba,” kataku sambil meraih pulpen itu dari tangannya.
Lalu kugoreskan pulpen itu ke telapak tanganku yang gemetar dan
berkeringat. Sebuah garis terlihat. Tidak beraturan. Sama seperti
gemuruh di dalam dadaku, “Ini bisa …”
Perempuan itu mengernyit dan memandangi goresan di
telapak tanganku dengan takjub, “Kok tadi aku nyoba nggak bisa ya …”
Lalu ia menggeser sticky note. Membuatnya berhenti tepat di atas pangkuanku. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi aku terlalu gugup untuk
mengalihkan wajah dan bertanya.
“Nah … Sekarang coba kamu aja yang nulis di sini,” pintanya.
Suaranya
tak lagi menyiratkan bingung atau heran. Aku tidak berani menebak. Tapi
mungkin, dia sedang tersenyum.
Aku memberanikan diri untuk memandang wajahnya, “Nulis apa?”
“Tulis salah satu caffe, dan waktu luang kamu bisa jemput aku untuk kesana!”
Hening.
Hening.
Sudah selesai sekarang.
Kehidupanku yang statis telah berakhir. Kini aku ingin mencoba hidup dengan irama yang berantakan dan kocar-kacir.
Kehidupanku yang statis telah berakhir. Kini aku ingin mencoba hidup dengan irama yang berantakan dan kocar-kacir.
Seperti perasaanku pagi ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar