Selasa, 03 Desember 2013

nyayian pagi #edited [dewasa only]

Aku tidak mengerti apa yang menyamankanku lebih, bantal ini atau bibirmu yang basah. Keduanya menenggelamkanku dengan terlalu. Cinta yang hilang lebih indah untuk dikenang. Mungkin..

Dasar pecandu luka. Hidup mencari cinta yang renta.Samudera lumpur tempatku menyimpan lara, sayat-sayat minor tujuh yang hangat, kita gembira dalam syahdu ubanmu.



Puting dadamu itu harum putik bunga yang dicandu kumbang. Dalam penatku, ada ragu yang tak kunjung menemukan jawabmu. Tentang kita, yang dipergunjingkan mereka.Kecup rinduku, terbang tinggi ke langit. Biru padamu. Mati terbunuh, atau mati terjatuh—terlihat sama indahnya di matamu.

Menjadi penyair adalah pilihan manusia untuk hidup abadi—dalam jejak-jejak puisi yang pasi.Biarlah pula aku menjelma musafir, karena tubuhmu gurun yang tak pernah usai kujelajahi. Perantauan terpanjang--mungkin abadi terjurus jelas di matamu; pintu hati dan pikiranmu. Saat kau pilih kata-kata yang kurang tepat, rindu mati cepat.

Adalah kehidupan yang menghadiahkan kamu kepadaku. Adalah kita yang akan menghadiahkan kita kehidupan baru. Aku luruh dalam debu, kala cinta kita membentur rambu-rambu yang tak mau kita bersatu.

"Pelan-pelan sayang, kelaminku masih muda—cakrawala yang belum pernah disentuh sinarnya," aku ingat katamu, dulu.

Desah-desah deras pada lima tiga puluh pagi. Dan basah mulai mengaliri liangmu. Entah dari lidahku yang basah, atau dari hulu yang kubelah.

Kemudian kamu pergi, dan surya menangis di mataku. Riak laut menyambutnya, tanpa pernah merasa berduka. Bagaimana bisa hanya dengan satu sapaan--kau mampu memanggil mereka, gulungan ombak dalam dadaku.

Gelap, mengingatkanku betapa berharganya cahaya, maka akan kucari dia; dan kubiarkan hidup di seluruh tubuhku. Siapa yang memanggilmu, Malaikatku? Apakah dia yang menyimpan perang di kepalanya? Yang merindukanmu lebih sesiapanya?
[@commaditya]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar