Rabu, 19 Maret 2014

Merindu Pagi #4

Kue Tawar dan Secangkir Teh


"Nessa, Kamu tau kenapa embun datang setiap pagi?"

Aku menoleh, menunggu jawaban sembari menikmati lekukan bibir tipisnya. Nessa masih menggenggam cangkir teh hangat dengan kedua tangannya. Tampak memandangi sekitar, memandangi udara yang masih berkabut. Mulutnya mengerucut, dahinya mengkerut. 

"Emmm,..." Gumannya.

"Aku sudah lama menunggu jawabanmu atas perasaanku. Jangan kamu tambah lagi menunggu atas pertanyaan sederhana ini." Godaku.

Nessa tergelak. Rona merah mulai merayap di pipinya, menghimpit bibir manis yang dalam diam sedari tadi menggodaku. Setelah puas memukul-mukul lenganku, ia menyesap teh yang tak lagi hangat. Lalu menekuk kaki dan memeluk keduanya.
Cukup lama kami berdua terdiam, menuruti pandangan dan imaginasi liar. Hingga riuh di luar sana pun tak lagi kami hiraukan. Nessa menghela nafas, ia kembali mendongakkan kepalanya. memandangi dedaunan yang masih basah dan sesekali terlihat tetesannya ketanah, meresap dan hilang.

Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan jawaban Nessa tentang embun datang di pagi hari. tapi yang jelas itu....

"Ah, Lupa!! Setauku air dalam wujud gas melepaskan panasnya sehingga menjadi zat cair. Terus ketika malam hari yang cerah dan tenang, udara tidak cukup waktu untuk bersentuhan dengan benda-benda dingin. Lalu embun menguap ketika matahari mulai bersinar. " Celotehnya engan ekspresi centil dan gerak bibir yang lagi-lagi membekukan rasionalku.

"Bener gak?!" Pekiknya sembari memalingkan wajahnya kearahku.

Lamunanku buyar ketika pandangan kami bertemu. Duh, Gusti. Wajahnya sangat cerah dengan sebaris senyum di bibirnya. Bersaing dengan sinar matahari yang perlahan merangkak di sela embun.

“Eh, bener nggak, sih?” tanyanya sambil mencengkram pinggangku dengan taangan kanannya.

Aku mengerang dan membungkuk. Merintih dan berpura-pura merasa kesakitan. Berharap ia mengkhawatirkanku, memegang tanganku dan bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”

Alih-alih memberi sedikit perhatian, dia malah makin keras meremas pinggangku. Aku semakin kesakitan, lalu Nessa menjejalkan kue tawar ke dalam mulutku. 

"Nih, dihabisin ya! Awal kalo nanti ngerjain aku lagi!"

Entah dari mana datangnya perempuan ini. ketika marah pun, ia masih tamp[ak menarik.

"Bener gak jawabanku?" Tanyanya sambil bergelayut di lenganku.

Kali ini aku harus benar-benar menghabiskan kue di dalam mulutku. Dengan tergesa aku meminum teh dalam cangkir yang tinggal separuh.

"Enggak tau, aku lupa!" Ujarku. 

Kembali aku minum teh dalam cangkir di tangan kananku. Teh ini tidah terlalu manis, tapi cukup kental. Nessa sendiri yang membuatkannya untukku. Mungkin Nessa menyadari kalo dirinya manis, jadi cukupkan senyumnya untuk dijamukan bersama seduhan teh bikinannya. Ya, tentu saja!

Senyumnya hilang, digantikan kerucutan bibirnya yang menggemaskan. "Huh, Payah!"

"Tapi aku gak kepayahan nunggu jawaban kamu Nes."

Nessa telah menerima bunga dan kotak cincin yang aku berikan minggu lalu. Tapi hingga saat ini belum juga ia kenakan. Sekedar jawaban atas perasaanku saja belum ia ucapkan. Rasanya aku sudah tidak mampu lagi menahan diri untuk mencurahkan segala yang kupunya. Aku pikir, tidak terlalu berlebihan jika aku berkata bahwa dia juga suka. Dia tidak pernah keberatan dengan semua perhatian yang kuberikan. Bahasa tubuhnya, pupilnya yang membesar setiap kami berbincang, napasnya yang memberat saat kami ber...

Ups!

Pandangan kami seakan beradu dengan degup jantung kami yang memburu. Ketika bibirnya mencium bibirku.

Nessa, Aku memilikimu? Entahlah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar