Jumat, 13 Juni 2014

Rindu Dering Telfon Ibu

Pernah nggak kamu bicara dengan seseorang lalu tiba-tiba terdiam. Kamu ingat seseorang yang begitu menyayangimu. Seseorang yang kadang kamu abaikan karena kesibukanmu. Yang dengan bahagia mengantar dan menyambut kedatanganmu kedunia. Kemudian ada sedikit rasa aneh di hati, bisa bahagia, sedih, terharu, bahkan marah dengan dirimu sendiri. Lalu kamu menangis dalam diam. Aku pernah mengalaminya. Tentang anak yang kadang tidak sadar kalau ibunya bener-bener sayang. 

Waktu itu aku ada acara bareng suatu komunitas untuk outbound di luar kota. Acara itu mengharuskan aku menginap untuk 3 hari. Setelah sebelumnya aku mengalami kecelakaan yang tidak terlalu parah, hanya memar dan lecet di beberapa tempat.
Sebelumnya biar aku cerita kondisi dirumah. Kami dirumah hanya berempat dan kesemuanya perempuan. Aku, Ibu, dan kedua adik kembarku yang masih berumur 13 tahun. Sementara Ayah bekerja di luar kota dan paling hanya bisa pulang 3 bulan sekali. Jadi dirumah ibu bertugas ganda, mengurus rumah dan menjaga kami (aku dan adikku). Setiap salah satu dari aku atau adikku keluar rumah untuk waktu yang lama. Ibu selalu saja menelfon bahkan tiap jamnya.
Dua hari acara berlangsung, ibuku terus saja menelfonku

Ketika baru sampai,
“Dek, udah sampai?”
“Udah”

Malam hari pertama
“Dek, udah makan? Kakinya gimana?’
“Udah. Gapapa.”
“Buruan tidur”
(dalam hati) Gimana bisa tidur kalo ditelfon terus begini!

Hari berikutnya
*ponselku getar terus menerus*
Beberapa saat aku merasa risih dengan ibu yang terus menerus menelfon. Ya ampun, aku hanya beberapa hari disini. Itupun acara outbound, bisakah aku bersenang-senang sekarang (baca: tanpa getar-getar ponsel itu lagi?)
Baru beberapa saat sudah tenang, lalu…. Getar lagi. Oke cukup..
 
Klik
“Bu, aku sedang sibuk sekarang. Ini outbound. Nanti saja biar aku yang menelfon.”
Klik 
 
Sudah. Beberapa jam tanpa getar ponsel lumayan bisa membuat aku menikmati suasana puncak yang sejuk. Menjelang malam kedua ponselku kembali bergetar.

Incoming Call 
 IBU
 
Aku matikan ponselku.
“Kenapa ga diangkat, rin?” Tanya salah seorang temanku
“Hehe gapapa.”
“Tadi itu ibumu?”
“Iya.”
“Harusnya kamu angkat.”
“Sejak sampai disini kemarin, sudah puluhan kali ibuku menelfonku . Bukankah cukup sekedar menanyakan kondisi saja? Ini outbound. Apa tidak boleh aku bersenang-senang?”
 
Temanku tersenyum. Lalu dia mengambil ponselnya. Dia sibuk memencet keypad dan terdiam beberapa saat. Lalu menempelkan ponsel di telinganya.
Oh rupanya sedang menelfon.
Lalu dia menekan tombol loudspeaker dan menyuruhku mendengarkan.
Operator yang menjawab dan di layar ponsel itu tertulis nama ibunya.
 
“Apa maksudnya”, tanyaku.
“Kamu tau tadi aku menelfon siapa?”
“Ibumu?” “Iya.”
“Kenapa operator yang menjawab? Tidak aktif? Lowbat? Atau sedang sibuk.”
Dia menggeleng.
“Aku tidak akan bisa menelfon dia lagi.”
“Kenapa? Ganti nomor dan kamu tidak tau nomor barunya?”
“Bukan.”
“Lalu?”, dahiku berkerut heran.
“Ibuku sudah berada disana, di tempat yang paling tenang. Tanpa getar ponsel.”
 
…….……….Aku terdiam……………
 
“Kamu beruntung masih terusik oleh getar ponsel panggilan dari ibumu. Masih ada yang mengangkat telefonmu ketika kamu membutuhkannya. Masih ada yang sering mengkhawatirkanmu ketika kamu tidak berada dirumah. Sementara aku? 
Mendengar suaranya saja sudah tidak akan bisa. Kamu tau betapa aku merindukan ocehan ibuku kala aku masih sering bandel dulu. Betapa aku merindukan tawa renyahnya ketika kami bercanda. Sungguh, kamu beruntung.”
 
…….……….Aku terdiam……………
 
Seperti ada batu di kerongkonganku. Menelan ludah saja aku kesulitan. Dan aku tidak bisa menahan air keluar dari mataku. Temanku bangkit dan meninggalkanku seorang diri. 
Aku aktifkan lagi ponselku.

Calling
IBU

“Hallo..” suara wanita yang begitu lembut itu.
Kenapa dek? Ga ada apa-apa kan?”, kata ibuku lagi.
“Tidak, bu. Aku gapapa. Ibu, aku kangen.”
Ibu terdiam
“Bu…”
“Iya dek, ya sudah ati-ati disana. Gausah ngoyo, kakinya masih sakit. Jangan telat makan.”
“Iya bu.”
“Dilanjut acaranya.”
Klik
 
Aku terisak.
Aku sudah seorang mahasiswi, sudah bisa bekerja walau hanya sekedar membantu biaya kuliah sendiri. Tapi kadang aku lupa, kalau aku akan tetap menjadi anak ibuku. Sampai kapanpun. Maaf ibu, karena terkadang mengabaikanmu karena kesibukanku. 
Aku menyayangimu Ibu.
* Ditulis Oleh Arina Kriswandani dalam Blog Mantra Rasa pada 18 April 2013

2 komentar: