Jumat, 04 Juli 2014

Roman Picikan

Aku mencintaimu.
Sampai kau bisa membuktikan aku berbohong–atau kau bersikeras bahwa aku berbohong, meski tanpa bukti yang jelas. Lalu aku akan mengucapkan selamat tinggal, meski kau bersikeras masih ingin bersamaku setelah kau pikir aku membohongimu. Kau tidak bisa menerimanya, karena kau pikir setelah kau menyangka bahwa aku berbohong, yang patut meninggalkan adalah kau–dalam hal ini kau ingin menjadi seorang pemaaf dan meninggikan dirimu di depanku sebagai manusia yang arif dan bijaksana. Aku (kau anggap) berbohong, lalu kau memaafkanku (padahal aku tidak salah), dan merasa kau sang maha pengampun (padahal itu tugas Tuhan). Coba pikir sekali lagi, kenapa kau masih ingin bersamaku setelah kau berkesimpulan aku telah membohongimu?

Kau mencintaiku.
Sampai tiba-tiba kau mengemukakan banyak alasan dan kekurangan yang tadinya kau anggap kekurangan yang bisa kau terima tapi potensial untuk tiba-tiba dipermasalahkan jika suatu hari ada orang lain yang kau pikir lebih pantas untukmu. Aku berusaha sekali untuk tidak menyebutmu tolol. Tapi aku mengerti bahwa kau hanya manusia yang selalu berubah, berpikir lebih dari sebelumnya, dan selalu berkalkulasi sebelum memutuskan. Eh, kau begitu kan? Bukan binatang yang cuma mengejar-ngejar sampai dapat, lalu kunyah dan tinggalkan?

Akhir-akhir ini kata-katamu busuk. Kupikir anus dan mulutmu tertukar seperti judul sinetron yang membodohi beberapa pembantu rumah tangga di Indonesia hingga menelantarkan pekerjaannya tapi terlalu sombong membela diri agar tidak dipecat. Kau tidak menemukan korelasi apa-apa pada kalimat di atas? Begitulah aku padamu.

Selamat tinggal.

 * Ditulis oleh Putu Aditya Nugraha dalam Blog commaditya.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar