Jumat, 31 Januari 2014

Merindu Pagi #1

Hujan dan Perempuan Dalam Kamar

“Kak kak.. bangun kak..”

“katanya mau ngurusin pajak?” Terdengar nyaring suara adik perempuanku dari balik pintu.

“iyaa” jawabku singkat. Sesaat aku mencari ponselku di ujung ranjang, bukan membaca pesan yang ada, aku hanya ingin memastikan ini jam berapa.

Aku bangkit dan menggerakkan kepalaku. Berat sekali, aku masih sempat terbayang kejadian semalam, perempuan dalam mimpiku sangat pandai mempermainkan kemaluanku. Setiap jengkal sentuhannya membuatku tak bisa merasakan kalo aku sedang bermimpi. Keindahan paras yang tak bisa aku ingat secara jelas meskipun baru beberapa menit aku terbangun. Seolah aku menemukan surga di dalam mimpiku, mendengar lantunan bisiknya yang membuat aku lemas. Hingga dansa kami di atas pembaringan berakhir pada saat musik indah di gantikan suara hujan di luar sana..

Aahh sial!


Aku mendapatai diriku basah kuyup oleh keringat, celana dalam yang hampir melepaskan pelukannya, beberapa helai benang telah keluar melepas usianya. Selimut yang lusuh menjadi sprey, sarung bantal yang tak jelas lagi gambar motifnya.

Aku beranjak mendekati pintu, hanya untuk memastikan pintunya tetap terkunci. Melangkah ke kamarmandi dengan gontai, menyaksikan seluruh isi kamar. Ranjang itu, pakaian kotor di sudut kamar, file yg berserakan di meja.

“emmm” sesaat aku tersenyum oleh tingkahku sendiri,

“gimana bisa, perempuan cantik itu datang dalam mimpi laki laki berantakan seperti ini.” Gumanku dalam hati.

Aku ingin merapikannya, bukan karna berusaha rajin, tapi aku ingin perempuanku datang lagi nanti malam. Sebelum akhirnya aku dipaksa mandi dengan cuaca sedingin ini. Terkadang memang kita seperti di perbudak rutinitas.

Hari ini benar-benar lembab dan dingin, hujan telah mengguyur kota sejak dinihari dengan tetesan-tetesannya. Kadang beberapa puluh menit, tetesan-tetesan itu terhenti seolah memberi kesempatan pada manusia untuk memikirkan langkah kehidupan selanjutnya. Langit temaram dengan ditemani sinar matahari yang bermalas-malasan. Beberapa gumpalan awan berkumpul seperti sepasang kaki perempuan yg sedang berbaring manja.

Dengan langkah gontai aku keluar kamar, membawa tas punggung dengan beberapa berkas pajak di dalamnya. Memang untuk awal tahun selalu disibukkan dengan banyak tender yang harus di perebutkan. Proyek tol semarang-solo, solo kertosono menjadi incaran banyak perusahaan, termasuk perusahaanku.

“Buk, motornya mana?” sambil clingukan di teras dan samping rumah.

“di bawa adikmu semua” jawab ibuk singkat sambil tetap memotong cabai dengan pisau kecilnya.

“ya udah buk, ngangkot” lanjutku mencium punggung tangan kanan dan kemudian melangkah keluar.

“ati ati” pesan singkat itu tak pernah lupa.

...

Aku berlarian mengejar angkot yang biasanya ngetem lama. Entah kenapa kali ini? Macet, basah, berdesakan, dan lampu lalulintas pun enggan menjalankan tugasnya. Cerita lamaaa...

Aku tiba dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. Aku harus mencari toilet untuk sekedar merapihkan badanku sebelum akhirnya menghadap pejabat pejabat gendut. Aktifitas berjalan seperti biasa dan aku tampak kelelahan. Sesekali tak kuasa aku menguap dan melenguh disini.

Akhirnya selesai juga, aku rapihkan beberapa kertas dalam map. Berjalan keluar ruangan dengan gontai. Tiada yang menarik untukku selama waktu yang berputar. Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk termangu di sebuah halte transbatik kebanggan kota solo, yang membawaku pulang dari meski nantinya masih berganti angkot.

Aku ambil ponsel di saku celanaku, mencoba menghubungi beberapa teman yang mungkin bisa diajak jalan, aku sangat malas pulang. Sesekali aku menyeka keningku dengan punggung tangan kiriku, entah mengapa AC bus ini belum sepenuhnya mendinginkan peluhku, alih-alih desiran angin membuat gairahku kembali bangkit. What’s wrong with me? Begitu tersiksanyakah tubuhku berharap sentuhan kekasih?

Kerinduanku memuncak saat hanya desahanmu yang terucap. Aku rindu guratan merah di leherku, tanda nakal yang tersisa darimu.

Aaahhh apa apaan ini??

Di saat seperti ini pun ak mengalami gejolak kerinduan yang tak jelas arahnya.

Aku kembali duduk diam tanpa pikiran apapun. Hingga aku tak tau apa yang akan aku lakukan dengan ponsel yang kugenggam. Dan tiba-tiba bus berhenti pada halte di depan sebuah toko buku. Mataku tertuju pada seorang perempuan cantik, meskipun tak secantik perempuan yang ada dalam imaginasiku. Cukup tinggi dan ramping. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari tempat duduk yang cocok baginya. Ia menatapku sekejap seolah meminta ijin untuk duduk di tempat kosong di sebelahku. Dengan cekatan ia berbalik arah dan tanpa sengaja tas jinjing di tangan kanannya menabrak dadaku. “Damn!” runtukku dalam hati. Dengan segera ia memperbaiki posisi duduknya dan tersenyum polos penuh penyesalan. Akhirnya ia bisa duduk dengan tenang ditemani tas jinjing kulit di atas pangkuannya. Ia mengambil sapu tangan dari kantung jeansnya dan menyeka wajahnya. I don’t know why but I like the way she is doing with him stuff. Tanpa sepatah kata, ia bergerak bersandar dan mulai memejamkan matanya seolah menikmati ayunan seorang ibu kepada anaknya yang mau tidur. She’s really beauty and rilex.

Bus bergerak membelah jalan mengarungi hujan. Satu persatu penumpang turun dengan bergegas memusuhi hembusan angin dan hujan. Di halte RSUD, bus berhenti berharap tambahan penumpang yang hanya menyisakan beberapa remaja seperti mahasiswa dan kami berdua, tentunya. Aku meyakinkan diriku untuk tidak membuang kesempatan ini.

“Pulang kuliah, Mbak?” tanyaku tiba-tiba dan cukup mengagetkan dirinya.

“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab aja. Tadi mampir sebentar ke Gramedia nyari CD,” tetap dengan gaya bicaranya yang membuatku semakin tertarik.

“Sekarang udah beli donk?” tanyaku lagi menyelidik.

Dia hanya nyengir dan kemudian menjawab lirih, “Ketipu nich gue. Shit!”

Aku hanya menatapnya bingung.

Sementara dia kembali diam dengan pandangan jauh ke luar jendela. Menyaksikan kesibukan anak-anak yang mengais rupiah di tengah guyuran hujan. Di sana nampak seorang anak perempuan memegani payung dan berharap ada orang yang menghampirinya untuk menggunakan jasanya. Di sisilain, beberapa lelaki lusuh memegangi pipa dan gitar kecil menghampiri mobil-mobil mewah di belakang marka jalan.

Untuk kedua kalinya aku memberanikan diri.

“Lho, kenapa nyari CD di Gramedia? Di Aquarius lebih lengkap, di bonanza juga ada!” dia hanya menoleh kearahku tanpa ekspresi.

“Sebenarnya kamu nyari CD apa sih?”

Mungkin karna dia jengkel atau merasa bising atas celotehku, akhirnya dia mejawab. Kali ini tanpa memandangku.

“Temenku kemarin bilang dia lihat ada CD yang udah lama aku incer. Dia bilangnya di Gramedia, begitu aku datangi ke sana dan nggak ada tuh. Pake acara kehujanan lagi!” lanjutnya sambil menghela nafas.

“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.

“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya dengan suara berintonasi sedikit mengejekku.

Kurang ajar nich cewek! runtukku dalam hati. Nggak tau apa dia berbicara sama aku yang penikmat jazz juga? Tapi kuakui juga sich, di antara teman-temanku, populasi penikmat jazz-nya juga minim. Mungkin dia berpikir aku hanya cowokk yang suka musik musiman atau yang biar dicap ikut trend doank.

“Kamu bukan penikmat mainstream, pop, atau melayu kan?” tanyaku lagi dengan tatapan penuh penasaran menunggu reaksinya. Tentu saja dia kaget!

“Aku tadi nyari The Best of Sore, yang dr tahun 2005 - 2013. Kata temenku ada diskon” dengan suaranya yang dibuat lebih hati-hati.

“Sorealist ya? Susah memang kalo cari di solo. Aku sendiri baru punya Centralismo, sama beberapa single yang aku dapet di youtube.” jawabku dengan suara bangga.

“By the way, aku Rakka,” aku beranikan diri berkenalan. “Nessa,” jawabnya tersenyum sambil menyambut hangat tanganku. .

Tampaknya pembicaraan kami semakin menggairahkan sesuai kesamaan minat. Hingga bus telah berhenti pada halte terakir sebelum aku mencari angkot untuk sampai kerumahku. Apakah suatu kebetulan, rumah kost yang dia tempati berada di ujung jalan persimpangan yang biasa tempatku turun untuk berganti bus. Aneh juga sih, kami biasa menggunakan halte yang sama. Tapi kok nggak pernah ketemu ya? Mungkin itu yang namanya jodoh? Atau nafsuku saja yang menjebak?

Aku menerima ajakannya untuk mampir ke tempatnya. Ia berasalan untuk saling bertukar koleksi CD dan berharap aku akan mampir kelak. Am I a slut or what? Tapi aku menikmati perlakuannya ketika kami sepayung berdua menembus rintik hujan dengan rangkulan tanganku di pundaknya. Aku jadi teringat sebuah film Indonesia klasik yang pernah kutonton dan aku tersenyum sendiri dibuatnya. Di depan kamar kostnya, ia berhenti sejenak, membuka pintu, dan mempersilahkanku masuk.

“Tolong jaga sikap ya. Kamu di kamar orang!” cetusnya tiba-tiba. Aku sempat bingung, tapi melihat senyumnya yang mengambang aku jadi mengerti. Aku sadar biasanya tuan rumah ngomong, “Ayo silahkan jangan malu-malu. Anggap aja kamar sendiri.” Tapi dia malah ngomong sebaliknya. Menyebalkan!

Sambil dia sibuk sendiri dengan barang-barang dan tas bawaannya, aku punya kesempatan untuk memperhatikan isi ruangan. Kamarnya ditata rapi walau agak sesak dengan barang-barang elektronik di sekelilingnya. Ada poster kartun Donald Duck, Batman, Twitty dan beberapa poster lainnya. Sisanya adalah balutan wallpaper warna coklat muda motif kayu yang elegan. Di sisi ranjang terdapat tumpukan beberapa boneka yang mungkin menemani tidurnya, atau bahkan pengisi sepi ketika malam dan dingin datang serempak.

Di sisi meja aku melihat miniature sepeda dan becak, yang biasa di temukan di Malioboro, aku mengambil miniature kereta tua khas kraton tanpa kuda.

“Ambil deh, kalo mau. Tapi harus ninggalin celana kamu disini.” Lagi-lagi ia membuat pernyataan sumbang dan nakal yang membuat kupingku jadi agak panas. Kata-katanya memang kurang ajar untuk percakapan pada awal-awal perkenalan. Aku sama sekali tidak tersinggung! Tapi pilihan kata-katanya membuatku semakin penasaran. Berbeda sekali ketika kami bercakap-cakap di bus. Apakah keberanian Nessa timbul ketika aku mau menerima ajakannya mampir? Apakah dia tipe perempuan yang membutuhkan waktu dan situasi spesial untuk membuka topeng hasrat dan gairahnya?

Ia menyeruak masuk dengan tiba-tiba, sambil kedua tangannya membawa teh hangat mengepul yang sepertinya nikmat sekali. Aku hanya mencibir mananggapinya dan menghampiri teh hangat yang sudah diletakkannya di atas meja belajar. Baru beberapa saat aku menikmati minumanku, dia membuka notebook dan memasang beberapa playlist untuk mencairkan suasana, setelah itu dia melangkah keluar kamar lagi. Sibuk bener, pikirku singkat. Atau dia gugup?

Tampaknya ia memang menungguku untuk bergerak duluan. Ia seperti perempuan yang berusaha menahan situasi tetap terjaga, berharap sang pria memohon dan menawarkan diri untuk melayani. Aku mengalihkan pandangan pada suatu benda yang kukenal sebagai CD tower. Kuhampiri dan dengan mata berbinar kutelusuri deretan-deretan CD di depanku. Beberapa nama masih kukenal. Sepertinya tidak semua musisi jazz. Bahkan aku menemukan kaset pita using Guruh Gipsy. Harus lebih banyak dengar musisi baru nich. Atau mereka musisi senior? Atau aku saja yang kurang wawasan?

Beberapa saat kemudian, suara hujan kedengaran kembali semakin deras. Suaranya bertalu-talu menampar genting dan dedaunan. Sesekali suara guntur menggelegar membahana menemani desiran angin. Aku menarik notebook dan memilih satu lagu yang sudah dia pasang pada playlist. “Karolina – Sore” alunan yang sedikit sendu, dengan rayuan maskulin yang di sampaikan, memenuhi kamar dan aku kembali menyibukkan diri di depan CD tower seperti semula. Sekejap terasa hangat sensual kurasakan di sekitar leher dan telinga. Bulu-bulu halusku menegang menyapa hasratku yang merinding. Aku mengatup mataku perlahan dan meresapi gejolak yang melanda tubuhku.

Rakka, Liked that, did you?” suara yang kukenal kembali menyapa.

Untuk menjawab pertanyaannya, kukibas-kibaskan tanganku seolah mendinginkan diriku yang terasa terbakar.

Let it get hot,” katanya lagi.

It already is.”

Tangannya menggosok punggungku. “Warm, but not hot yet.

“Butuh seberapa panas nich?” tanyaku.

Nessa bergerak perlahan menjauh dan menatap keluar jendela. Mungkin dia melihat detak nadiku di tenggorokan, Adam’s apple-nya bergerak sesaat setiap waktu.

“Bener-bener dingin ya di luar,” katanya. Tapi sepertinya ia tidak membicarakan cuaca.

Aku pun masih belum bergerak. Tubuhku seolah terpatri di antara CD tower di sudut kamar. Dia menghampiri tempat tidurnya yang tertata rapi. Perlahan dibaringkan tubuhnya, dan rasa dingin pun sejuk merayap di sekujur kulitku.

“Sini.” Aku sangat ragu, kembali kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.

Take your shirt off.”
Perintah itu seolah membawanku kembali ke bumi dan perlahan ia duduk di sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir bawahnya, dan kembali lehernya berdetak.

“Slowly.” Dia memberi petunjuk dengan senyum merekah.

“Ya,” jawabku singkat layaknya pasien yang terhipnotis.

Aku angkat ujung kaos dan melepas dengan sigap. Terpampanglah dada seorang pria dewasa di hadapannya. Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di sepanjang lengan dan tangan. Ia memperhatikan mataku, pandangannya menyapu dan berhenti di pangkal celana yang masih aku kenakan. Aku terheran.

“Kenapa,”ujarku penasaran.
“Gimme those hands.

Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur mendekatiku.
“Mau diapain?” sepertinya dengan pikiran yang berkecamuk.

“Celanaku basah.” ucapnya sambil mengerutkan dahi.

Aku tersenyum tertahan. “I hope so.”

“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di halte. Mau bantu aku melepaskannya?” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
“Boleh,” tapi sama sekali tak bergerak.

Want me to?” Aku meraih ujung celananya dan sembari ia mengangkat pantat. Ia menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia menatap mataku, matanya kembali turun ke bawah. “Sudah cukup lama,” katanya muram.

“Dan kamu udah lapar sekali, kan?”

Ia menatapku sesaat dan mengangguk tanpa arti. Tanpa sadar jari jemarinya mulai melepas kancing kemeja dan melempar ke mukaku. Aku menangkap kemejanya dengan sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang kembali. Dia memiringkan tubuh.

Would you mind?” sambil membuat lirikan manja.

Ia menghampiri dan menatapku tajam. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku tidak memperhatikan lagi kemana perginya satu persatu pakaianku. Kedua tangannya mendorong pundakku dan aku hanya mengikuti pasrah. Tubuhku sudah mulai berkeringat dan dinginnya sprei tempat tidur hanya memberikan kesejukan sementara pada syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing kenikmatan duniawi. Ia kembali menatap dengan mata yang semakin berbinar seolah seorang anak yang diberi mainan baru tanpa keinginan untuk memegangnya.

Kemudian badannya berbaring dan kepalanya mengarah pada wajahku. Aku berusaha beranjak bangun dan menatap antusias apa yang akan terjadi selanjutnya. Jujur saja, saat itu kepalaku sudah semakin pusing dan desiran-desiran yang menyelubungi seluruh indraku semakin menjadi-jadi. Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!

Ia menyelinap di antara kedua kakiku. Kedua lututnya yang terlipat menahan kedua pahaku yang merenggang pasrah. I know this girl is gonna rock me. Aku menggapai belakang kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan. Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar sehingga aku dapat menahan serangannya nanti.

Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi setelahnya, ketika aku mencoba membuka mata, aku tidak mendapati diriku secara utuh. Entahlah..!!

Hari ini terpaksa makan siangku digabung dengan makan malam. Nessa seperti membawa telaga diantara keruh gurun yang aku lalui. Kerinduanku seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur yang basah. Aromanya membuatku terlelap. Semacam aroma terapi pada penderita kejenuhan. Atau seperti dentingan kotak music untuk menidurkan bayi. 
Aku pun harus dibantu untuk melangkah keluar kamar. Selama aku di kamar mandi pun, Nessa harus mengecek untuk memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat staminaku yang terkuras habis. 
Ketika pulang, ia mengantarku sampai di depan kamar kost dan memberikan ciuman kilat di bibirku. Ia menolak dengan tegas undanganku untuk datang kerumah. Aku mengerti mendengar alasannya yang harus menyelesaikan tugas kuliah malam ini.


Aku kembali memasuki kamarku, dengan semua, emmm... semuanya.!
Aku tidak bisa mendiskribsikan keadaanku seperti ini, lelah karna apa, kotor karna apa.. Ada semacam rasa penyesalan, sesuatu yang hilang atau juga rasa lega.  Dengan air hangat, aku membersihkan tubuhku dan meresapi kembali kenikmatan yang tersisa. Semua pikiran dan emosi yang mengarahkanku pada cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau terjebak di antaranya. Biarlah perempuanku yang nun jauh di sana dapat merasakan getaran hatiku. 
Semoga kasihku berkenan datang(lagi) dalam mimpiku malam ini. 

Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar